DuuDoxeek82MOCmc98xdi89lHUhYNPeEcNhBHoUk
Bookmark

Bagaimana Hukum Puasa Syawal Sedangkan Belum Membayar Hutang Puasa?



Ketika bulan Ramadhan selesai, kita diperintahkan untuk melakukan puasa  enam hari pada bulan  Syawal.  Ini berdasarkan hadist Abu Ayyub radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر،
 "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan 6 hari pada Syawal, maka seakan berpuasa seumur hidup.” (HR.Muslim)

Hadits di atas menunjukkan beberapa pelajaran,  sebagai berikut :

(1). Puasa enam hari bulan Syawal hukumnya sunnah.

(2). Satu kebaikan di dalam Islam akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Oleh karena itu, puasa Ramadhan satu bulan dihitung  sepuluh bulan,  dan puasa enam hari bulan Syawal dihitung enam puluh hari atau setara dengan dua bulan. Sehingga sepuluh bulan ditambah dua bulan sama dengan satu tahun. Itulah makna puasa seumur hidup atau puasa satu tahun, sebagaimana tersebut dalam hadits  di atas. Adapun dalilnya adalah firman Allah,

مَن جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا ۖ وَمَن جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُون

"Barang siapa berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi)." (QS. Al-An'am 6: Ayat 160)

(3). Disunahkan untuk segera melakukan puasa enam hari bulan Syawal setelah selesai hari raya Idul Fitri. Karena bersegera kepada kebaikan adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana di dalam firmanNya,

وَسَارِعُوْۤا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَا لْاَرْضُ ۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ ۙ 

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa."  (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 133)

Dan juga firman-Nya,

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖ وَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗ ۗ اِنَّهُمْ كَا نُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِيْ الْخَيْـرٰتِ وَ يَدْعُوْنَـنَا رَغَبًا وَّرَهَبًا ۗ وَكَا نُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ

"Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 90)

(4) Jika ingin menyegerakan puasa Syawal,  kapan sebaiknya dimulai?  Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :

Pendapat Pertama  puasa Syawal dimulai hari kedua setelah Iedul Fitri. Mereka berdalil dengan empat hal:

(1) Hal ini sesuai dengan lafadh hadist,  " Barang siapa yang berpuasa bulan Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari bulan Syawal."

Makna diikuti yaitu langsung,  tidak ada jeda kecuali hari pertama Iedul Fitri.

(2) Hal itu juga karena yang diharamkan berpuasa hanyalah hari pertama, dengan demikian dibolehkan berpuasa pada hari keduanya.

(3) Selain itu,  puasa hari kedua belum banyak gangguannya dan masih terasa suasana bulan Ramadhan,  sehingga membuat semangat untuk berpuasa. Berbeda jika puasanya diundur, dikhawatirkan semangatnya sudah mulai berkurang karena terpengaruh dengan gegap gempita suasana lebaran.

(4) Sebagian ulama memposisikan puasa Syawal seperti sholat rawatib yang dikerjakan langsung setelah selesai sholat lima waktu dan dzikir. Jika diundur pelaksanaannya,  menjadi tidak baik.

Pendapat Kedua, puasa Syawal dimulai pada hari keempat.

Alasan pendapat ini,

(1)Walaupun Iedul Fitri hanya satu hari,  tetapi makna lebaran berlangsung sampai tiga hari untuk makan dan minum serta silaturahim.

(2) Ini seperti hari raya Iedul Adha dimana penyembelihan hewan dan hari Tasyriq berlaku sampai tiga hari setelah hari Raya Iedul Adha. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kaum muslimin untuk makan dan minum setelah melaksanakan ibadah haji atau setelah puasa Arafah.

(5) Puasa enam Syawwal boleh dilakukan secara berturut-turut, dan boleh juga dilakukan secara terpisah.

Berkata Imam an-Nawawi  di dalam al-Majmu' :

"Jika seseorang memisahkannya (puasa enam Syawwal) atau menunda pelaksanaannya hingga akhir Syawwal, ini juga diperbolehkan, karena masih berada pada keumuman dari hadits tersebut. Kami (dalam madzhab Syafi'i) tidak berbeda pendapat mengenai masalah ini. Dan ini juga pendapat Imam Ahmad dan Abu Daud."

(6) Sebelum melaksanakan puasa enam hari bulan Syawwal,  hendaknya dia menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Bagi yang mempunyai hutang puasa pada bulan Ramadhan,  hendaknya meng-qadha'nya terlebih dahulu sebelum dia melaksanakan puasa enam hari bulan Syawwal.

Di dalam lafadh hadits di atas sangat jelas,  yaitu, "Barang siapa puasa bulan Ramadhan" artinya telah menyelesaikannya dengan sempurna.

Bolehkah berpuasa Syawal terlebih dahulu, sebelum meng-qadha' puasa Ramadhan ? Para ulama berbeda pendapat (silahkan lihat  pembahasan no. 8)

(7) Apakah boleh berniat mengqadha' puasa Ramadhan, sekaligus berniat puasa Syawwal?

Sebagian ulama menjelaskan bahwa puasa Syawwal syaratnya harus menyelesaikan puasa Ramadhan terlebih dahulu, dan itu tidak terpenuhi jika diniatkan meng-qadha' puasa Ramadhan dan puasa Syawwal secara bersamaan.

📌 Dengan demikian, tidak dibolehkan  untuk menggabung keduanya dalam satu puasa.

📌 Adapun menggabungkan niat meng-qadha' puasa Ramadhan dengan puasa sunnah lainnya (selain puasa Syawal), seperti puasa Senin Kamis, puasa Daud, puasa 'Asyura dan puasa Arafah, maka hal itu dibolehkan, karena tidak ada syarat sebagaimana di dalam puasa Syawwal.

(8) Perbedaan Ulama tentang hukum mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha' hutang puasa Ramadhan :

Pendapat Pertama :
Tidak dianjurkan, bahkan dianggap pahala puasa Syawal tidak sampai.

Mereka berdalil dengan hadist Abu Ayyub radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر

"Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dan melanjutkannya dengan enam hari pada Syawwal, maka seakan berpuasa seumur hidup." (HR. Muslim)

Hadist di atas menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pahala puasa Syawal harus terpenuhi tiga syarat;

Pertama : Harus menyelesaikan puasa bulan Ramadhan secara penuh. Orang yang masih punya hutang bulan Ramadhan dan belum meng-qada'nya dianggap belum menyelesaikan puasa Ramadhan nya secara penuh, maka tidak akan mendapatkan pahala seperti yang tersebut di dalam hadist.
Kedua : Harus dilaksanakan pada bulan Syawwal.
Ketiga : Puasanya harus enam hari.

Berkata al-Haitami di dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (3/457): "Karena dia harus menyempurnakan puasa Ramadhan (secara keseluruhan),  jika tidak maka dianggap tidak mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, walaupun dia berbukanya pada bulan Ramadhan karena udzur."

Berkata Syekh Utsaimin di dalam Fatawa (1/52): "Jika seseorang melaksanakan puasa enam hari bulan Syawal,  tetapi dia belum meng-qadha' hutang puasa Ramadhannya, maka tidak dapat pahalanya."

Pendapat Kedua :
Dibolehkan puasa enam hari bulan Syawwal,  walaupun belum meng-qadha' hutang puasa bulan Ramadhan dan pahalanya tetap sampai.

Mereka berdalil sebagai berikut:

Kewajiban mengqadha' hutang puasa Ramadhan tidak harus dilakukan pada bulan Syawwal, tetapi boleh diundur pada bulan-bulan berikutnya sebagaimana di dalam firman Allah,

أَیَّامࣰا مَّعۡدُودَ ٰ⁠تࣲۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرࣲ فَعِدَّةࣱ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۚ 

"(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain." (Qs. al-Baqarah: 184)

Ayat di atas tidak membatasi waktu qadha' puasa Ramadhan,  boleh pada bulan Syawwal,  juga boleh pada bulan-bulan lainnya.

Juga berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, 

حديث عائشة رضي الله عنها تقول: كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فما أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان. الشغل من رسول الله صلى الله عليه وسلم، أو برسول الله صلى الله عليه وسلم.

Aisyah radhiyallahu ' anha berkata: "Saya pernah punya hutang puasa Ramadhan dan saya tidak bisa meng-qadha' nya kecuali pada bulan Sya'ban karena disibukkan mengurusi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam." (HR. Muslim)

Hadits di atas menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha meng-qadha' puasa Ramadhan pada bulan Sya'ban. Ini menunjukkan ada kemungkinan beliau puasa enam hari di bulan Syawwal sebelum meng-qadha' puasa Ramadhan.

Orang yang telah menyelesaikan puasa Ramadhan walaupun ada beberapa hari yang ditinggalkannya karena udzur dianggap telah berpuasa Ramadhan secara maknawi.

Mewajibkan untuk meng-qadha' puasa Ramadhan terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa Syawwal akan sangat memberatkan, terutama bagi kaum wanita yang haidnya sampai delapan hari atau lebih,  khususnya jika ada udzur lainnya seperti sakit dan safar, bahkan kadang hutang puasa Ramadhan bisa sampai 15 hari lebih. Jika digabung dengan 6 hari puasa Syawwal,  maka menjadi 21 hari.

Pendapat yang membolehkan untuk mengundur qadha' puasa Ramadhan hingga satu tahun, dan membolehkan mendahulukan puasa Syawwal akan meringankan beban mereka. Allah berfirman,

ۡ یُرِیدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ 

"Allah menginginkan kalian mendapatkan kemudahan dan tidak menginginkan kalian mendapatkan kesusahan." (QS. Al-Baqarah : 185)

Berkata al-Bujairmi  dalam Hasyiayah nya atas al-Khatib (2/352) dengan menukil perkataan ulama: "Mengikuti  dengan puasa Syawwal secara (taqdiriyah),  yaitu menyempurnakan (puasa Ramadhan) sesudahnya, tetapi dianggap terlaksana sebelumnya. Atau mengikutinya dengan puasa Syawwal secara (Mutaakhirah), yaitu dilaksanakan puasa Syawwal sesudah puasa Ramadhan sebagaimana pelaksanaan shalat nafilah sesudah  shalat fardhu."

TARJIH

Dari dua pendapat di atas, maka pendapat yang kita pilih dilihat dari dua sisi:

  1. Untuk sifat kehati-hatian dan agar tidak mengundur-undurkan amal shalih, maka pendapat pertama lebih tepat.
  2. Untuk kemudahan bagi kalangan tertentu seperti wanita yang banyak meninggalkan puasa Ramadhan (banyak hutang puasanya), sedang mereka ingin mendapatkan pahala puasa Syawwal, maka yang lebih tepat adalah pendapat kedua.


Wallahu A'lam.

Ustadz DR. Ahmad Zain An-Najah, MA.
(Wakil Majlis Fatwa Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Pusat)
Posting Komentar

Posting Komentar

close
-->