DuuDoxeek82MOCmc98xdi89lHUhYNPeEcNhBHoUk
Bookmark

Karena Tawakal Akan Mendatangkan Rezeki



Sesungguhnya Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan takdir dan membagi-bagikan rizki lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Apa yang telah ditakdirkan maka sudah pasti akan terjadi, dan Allah akan melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki dan ditakdirkan-Nya. Bagian ini tidak mungkin bagi seorang makhluk pun, siapa pun orangnya, untuk merubahnya atau menyimpangkannya. Hanya saja Nabi Shalallahu ‘alaihi was Salam menjelaskan bahwa di sana terdapat berbagai jalan untuk menambah rizki.

Tawakkal adalah salah satu dari kunci rizki tersebut. sebagaimana diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa ia mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam bersabda,

“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti Dia memberikan rezeki kepada burung; dia pergi di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan perut kenyang.” (HR. At-Tirmidzi)

Sabdanya, “seandainya kalian bertawakal kepada Allah,” yakni bersandar, “dengan tawakal sebenarnya,” dengan mengetahui seraya menyakinkan bahwa tiada yang melakukan selain Allah, tiada pemberi dan tiada yang menghalangi kecuali Dia, kemudian kalian berusaha mencari dengan wajah menawan dan tawakal, niscaya kalian diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. “Taghdu (ia pergi) ”, yakni pergi di awal hari “himashan”, yakni dalam keadaan lapar, dan “taruhu (pulang),” yakni pulang di akhir hari “bithanan” yaitu besar perutnya, dan maksudnya adalah kenyang. al-Munawi mengatakan, “Artinya, ia pergi pada waktu pagi dalam keadaan lapar dan kembali pada petang dalam keadaan perutnya kenyang. Usaha itu bukanlah  pemberi rezeki, tapi pemberi rezeki adalah Allah. Hadits itu mengisyaratkan bahwa tawakal bukanlah bermalas-malasan, tetapi harus dibarengi semacam usaha. Bahkan, di dalamnya terdapat dalil yang memerintahkan untuk mencari rezeki. Maksud hadits tersebut: seandainya mereka bertawakal kepada Allah saat mereka pergi dan pulang saat mereka berusaha, dan mereka tahu bahwa kebaikan itu berada di tangan-Nya, niscaya mereka tidak pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan keuntungan lagi selamat sebagaimana burung. Tetapi mereka bersandar pada kekuatan dan usaha mereka. Itu tidak menafikan tawakal.

al-Munawi mengatakan, “Dalam hadits ini disebutkan bahwa usaha itu tidak menafikan tawakal, yakni di mana ia yakin kepada Allah dan yakin kepada keputusan-Nya. Nabi tampil dalam peperangan dengan memakai dua baju perang, memakai maghfar, menempatkan pemanah di bukit,  parit di sekitar Madinah, berhijrah dan menyuruh berhijrah, melakukan sebab-sebab makan dan minum, menyimpan bahan makanan untuk keluarga dan tidak menunggu turun dari langit. Beliau pernah bersabda, “Ikatlah dan bertawakallah.” (Shahih Ibnu Hibban: 731)

Jadi, harus ada gerak dan usaha untuk mencari rezeki. Lihatlah Maryam, Allah memerintahkannya berusaha:

“Dan goyangkanlah pangkal kurma itu kearahmu, niscaya pohon itu mengeluarkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)

Lakukanlah segala pekerjaan yang disyariatkan; karena orang yang menganggur itu tidak akan diberi taufik. Bekerja itu merupakan sunnah para Nabi dan orang-orang mulia. Tidak ada seorang Nabi pun melainkan pernah menggembala kambing.

Pernah ditanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam, “Apakah usaha yang paling baik atau utama?” Beliau menjawab,,,,,,,,, “Seseorang bekerja dengan tangannya, dan semua jual beli yang baik.” (HR. Ahmad: 3/466, al-Hakim: 2158, al-Baihaqi: 10177, 10178).

Umar berkata, “Aku melihat seorang pemuda lalu aku kagum padanya. Namun, ketika dikatakan bahwa ia tidak punya pekerjaan, maka dia menjadi rendah di mataku.”

Ia mengatakan juga, “Janganlah salah seorang dari kalian berpangku tangan dari mencari rezeki, sedangkan ia berdoa, ‘Ya Allah, berilah aku rezeki.’ Karena kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak.”

Tawakal adalah kedudukan yang sangat besar pengaruhnya. Bahkan, ia adalah kewajiban iman yang paling besar, amal dan ibadah paling utama yang mendekatkan kepada Ar-Rahman, dan tingkatan tauhid yang tinggi. Karena segala urusan tidak tercapai kecuali dengan tawakal pada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya. Kedudukan tawakal itu sebelum kedudukan inabah (taubat), karena ia bertawakal untuk meraih keinginannya. Jadi, ini adalah wasilah sedangkan inabah adalah tujuan. Ini adalah kedudukan paling agung, utama, dan lebih merata nilainya.

Ibnu Qayyim mengatakan, “Tawakal adalah separuh agama, dan separuh lainnya adalah inabah. Karena agama adalah isti’anah dan ibadah. Tawakal adalah isti’anah dan inabah adalah ibadah.” (Madarij as-salikin: II/113)

Tawakal itu berkaitan dengan segala sesuatu, baik kewajiban, anjuran maupun kemubahan. Sungguh begitu banyak hajat manusia, dan mereka harus bertawakal pada Allah dalam menyelesaikannya.

Kedudukan tawakal itu sangat dibutuhkan. Sungguh, ketika para hamba ditimpa salah satu urusan, maka mereka berlari kepada Allah, kembali kepada-Nya, dan bertawakal kepada-Nya. Dengan itulah Allah memudahkan kesulitan, dan hamba merealisasikan apa yang diinginkannya dalam keadaan hati yang tentram lagi ridha dengan qadha dan qadar Allah.

Ibnu Qayyim mengatakan, “Seandainya hamba bertawakal pada Allah dengan sebenar-benar tawakal untuk menghilangkan sebuah bukti dari tempatnya, sedangkan diperintahkan ia untuk menghilangkannya, niscaya ia dapat menghilangkannya.” (Madarij as-Salikin: 2/113)

Orang muslim tidak melihat tawakal pada Allah dalam semua amalnya sebagai kewajiban semata. Bahkan ia melihatnya sebagai fardhu diniyah yang tidak hanya berkaitan dengan perkara-perkara agama, tapi juga berkaitan dengan urusan keduniaan. Bukan hanya berkaitan dengan urusan dunia dan mencari rezeki saja, tapi juga berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Jadi, ini adalah aqidah:

“Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang beriman.” (QS. Al-Maa’idah: 23).

Karena itu tawakal pada Allah adalah separuh agama. Bahkan, ini kewajiban karena ini adalah salah satu pokok keimanan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tawakal pada Allah adalah salah satu kewajiban terbesar, sebagaimana ikhlas karena Allah wajib. Allah telah memerintahkan tawakal di sejumlah ayat yang lebih besar daripada perintah-Nya berwudhu dan mandi jinabat, serta melarang bertawakal pada selain-Nya.”(Majmu’ al-Fatawa: 7/16).

Hakikat tawakal adalah bersandarnya hati dengan benar kepada Allah guna memperoleh kemaslahatan dan menolak kemudharatan berupa urusan dunia dan akhirat.

Tawakal adalah salah satu bangunan tuahid uluhiyah, sebagaimana ditunjukkan oleh firman-Nya,

“Hanya kepada-Mu-lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5).

Demikian juga ditunjukkan oleh firman-Nya:

“Dan bertawakalah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud: 123).

Dan, firman-Nya:

“jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘cukuplah Allah bagiku; tidak ada Illah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memliki ‘Arsy yang agung." (QS. At-Taubah: 129)

Tawakal pada Allah adalah sifat luhur dari antara sifat-sifat Ibadurrahman, syiar (simbol) yang membedakan mereka dari selain mereka, dan tanda yang jelas bagi ahli keimanan, sebagaimana firman-Nya:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakal.”(QS. Al-Anfal: 2).

Mereka tidak berharap kepada selain-Nya, tidak menyengaja kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali di haribaan-Nya, tidak mencari hajat kecuali dari-Nya, dan tidak menginginkan kecuali kepada-Nya. Mereka tahu bahwa apa yang dikehendaki-Nya pasti tejadi. Dialah yang mengatur kerajaan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yang menghalangi keputusan-Nya, serta Dia sangat cepat perhitungan-Nya. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsir.

Sa’id bin Jubair mengatakan, “Tawakal kepada Allah adalah intisari iman.” (HR. Bukhari: 5707, Muslim: 218).

Makna hadits: bahwa seandainya manusia merealisasikan tawakal pada Allah Dengan hati mereka dan bersandar sepenuhnya padanya dalam menarik apa yang bermanfaat bagi mereka, menolak apa yang merugikan mereka, dan melakukan sebab-sebab yang berguna, niscaya Allah memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab yang paling kecil sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada burung dengan sekedar pergi dan pulang. Ini sejenis tuntutan, tetapi ini usaha yang ringan.

Merealisasikan tawakal tidak menafikan usaha, yaitu melakukan sebab-sebab yang ditetapkan Allah sebagai ketentuan-ketentuan, dan sunnah-sunnah-Nya di tengah makhluk-Nya berlangsung dengan cara demikian. Karena Allah memerintahkan melakukan sebab-sebabnya, di samping itu memerintahkan bertawakal. Jadi, melakukan usaha dengan anggota badan adalah ketaatan, dan tawakal pada-Nya dengan hati adalah keimanan kepada-Nya.

Allah berfirman:

“Dan bertawakal kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.” (QS. Al-Maa’idah:11).

Dia meletakkan tawakal bersama takwa yang berarti melakukan sebab-sebab yang diperintahkan. Tawakal tanpa melakukan sebab-sebab yang diperintahkan adalah murni kelemahan, meskipun ini diselimuti dengan semacam tawakal. Karena itu, tidak sepatutnya hamba menjadikan tawakalnya sebagai kelemahan dan kelemahannya sebagai tawakal. Bahkan menjadikan tawakalnya sebagian dari sebab-sebab yang mana tujuan tidak menjadi sempurna kecuali dengannya seluruhnya.

Hakikat tawakal adalah kejujuran hati bersandar pada Allah dalam mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan dari urusan dunia dan akhirat.

Tawakal yang dimaksud di sini adalah bersandar pada Allah, percaya kepada-Nya, dan ikhlas karena-Nya, disertai melakukan usaha.

Bila diperhatikan hadits tersebut ada dua kata: taghdu (pergi) dan taruhu (pulang), yakni ada gerak dan usaha dari hamba, serta melakukan sebab-sebab diraihnya rezeki.

Dalam al-Qur’an Allah berfiman:

“Jika kamu takut miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 28).

Abu Abdillah al-Qurthubi mengatakan, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa keterpautan hati pada sebab-sebab untuk mendapat rezeki adalah boleh, dan itu tidak menafikan tawakal. Meskipun rezeki itu sudah ditentukan, perintah Allah dan pembagian-Nya pasti terlaksana, tetapi Dia mengaitkannya dengan sebab; hikmahnya agar diketahui antara hati yang berpaut dengan sebab dan hati yang bertawakal pada Rabbul Arbab (Allah). Kita sudah mengetahui bahwa sebab itu tidak menafikan tawakal, Nabi mengabarkan bahwa tawakal hakiki tidak bertentangan dengan pergi dan pulang untuk mencari rezeki.

Demikianlah sekelumit pembahasan mengenai tawakkal. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Sumber : Buletin Al Islam
Posting Komentar

Posting Komentar

close
-->