DuuDoxeek82MOCmc98xdi89lHUhYNPeEcNhBHoUk
Bookmark

Cerita Fiksi Dalam Kacamata Islam



 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

CERITA FIKSI DALAM KACA MATA ISLAM

I. Pendahuluan

Ditengah penatnya aktivitas sehari-hari, tubuh sangat membutuhkan rileksasi. Selain mandi, biasanya orang akan mencari aktivitas lain untuk menghibur diri. Seperti tadabbur alam, berkumpul dengan keluarga, kerabat dan lainnya. Yang nantinya aktivitas itu akan merefres kembali pikiran dan semangat kita. Namun, ada beberapa kalangan manusia yang suka menghibur dirinya dengan cerita-cerita fiksi. Yang kita tahu, bahwa cerita fiksi bukanlah cerita yang nyata, bahkan hanya imajinasi dan hayalan penulis. Lalu bagaimana islam memandangan tentang cerita fiksi itu sendiri?

II. Pembahasan

A. Pengertian

Dalam kamus Bahasa arab, kata fiksi berasal dari kata خيال , قصة خيالية  yang artinya cerita rekaan. 

Fiksi yaitu cerita rekaan (roman, novel, dsb), tidak berdasarkan kenyataan; rekaan; khayalan. 

Secara makna, fiksi adalah tindakan mengada-ada, tidak nyata, dusta atau manipulatif. Dengan kata lain sesuatu yang berkebalikan dengan kenyataan. 

B. Dalil larangan membuat orang terhibur dengan berdusta

Islam sendiri adalah agama yang sangat mengutamakan kejujuran dalam semua hal, karena islam menganggap kejujuran dan sikap apa adanya adalah sesuatu yang mahal, sebagai sebuah wasilah ke surga. Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda :

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Alloh sebagai pendusta.” [Muslim 2607, Abu Dawud 4989, Tirmidzi 1971] 

Kita pun telah dijelaskan dalam hadits bahwa membuat orang terhibur melalui sesuatu yang dusta adalah hal terlarang

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celakalah bagi yang berbicara lantas berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” [HR Abu Daud 4990 dan Tirmidzi 3315]. 

C. Fiksi yang mengandung cerita islami

Adapun jika itu adalah cerita islami yang menanamkan akhlaq, budi pekerti atau nilai nilai islami lainnya maka ada silang pendapat dikalangan ‘ulama, dan sejauh pengamatan kami belum ada yang mengharamkan secara mutlak dari ‘ulama jika tujuannya untuk penanaman akhlaq, dan tidak membawa efek negatif terhadap syari’at bagi pembaca. 

Ada sebagian ‘ulama yang memakruhkan, adapula ‘ulama yang membolehkan. Yang membolehkan (dan ini yang kami cenderung padanya) berhujjah dengan hadits tatkala Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalaam mempersilahkan para sahabatnya untuk menyampaikan kisah-kisah Bani Israil. Beliau sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda dalam haditsnya :

“حدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج”

“Sampaikanlah cerita-cerita yang berasal dari Bani Israil dan itu tidaklah mengapa” [HR Abu Daud 3177] 

Bahkan dalam riwayat Ahmad, yang dishohihkan Al-Albani disebutkan dengan tambahan kandungan yang menarik :

فإنه كانت فيهم الأعاجيب (رقم 2926 – المجلد الثاني – القسم الثاني )

“Karena sesungguhnya dalam cerita-cerita itu (Bani Israil) terkandung cerita-cerita yang menarik.” [Silsilah Ash-Shohihah 2926]

Dan sebagaimana yang kita ketahui bahwa cerita dari Bani Israil tidaklah semuanya benar, namun para ulama mengatakan bahwa hadits diatas menunjukkan bolehnya mendengarkan cerita-cerita Bani Israil yang menarik sekedar untuk hiburan, bukan untuk berdalil atau hujjah. Dalam artian hanya untuk refreshing, menghilangkan penat atau kegundahan hati, bukan sebagai dalil dan alasan untuk beramal. 

Hadits di atas juga disimpulkan oleh sebagian ulama untuk menunjukkan bolehnya mendengar atau membaca cerita-cerita yang unik dan menarik dengan tujuan hiburan dengan syarat cerita tersebut belum pasti kebohongannya. Sedangkan jika cerita tersebut sudah pasti kebohongannya maka boleh diceritakan jika tujuannya untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat-sifat positif seperti adil, berani dan bertanggung jawab, baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan asalkan semua orang yang membacanya pasti faham bahwa cerita tersebut hanya sekedar imajinasi atau karangan semata. Inilah pendapat Ibnu Hajar al Haitaimi, seorang ulama syafi’iyyah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala : 

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا أَبْكَمُ لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَهُوَ كَلٌّ عَلَى مَوْلَاهُ أَيْنَمَا يُوَجِّهْهُ لَا يَأْتِ بِخَيْرٍ هَلْ يَسْتَوِي هُوَ وَمَنْ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَهُوَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ 

“Dan Alloh pun membuat perumpamaan, dua orang lelaki, salah satunya bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (QS An-Nahl 76). 

D. Pendapat ulama kontemporer terkait membuat cerita fiksi 

Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum membuat kisah fiksi (qashsash khayaaliyyah) :

Pertama, ada ulama yang mengharamkan, karena dianggap membuat kebohongan (al kadzib). Kitab Fatawa Lajnah Da`imah (12/187) menyatakan, “Haram bagi seorang Muslim untuk menulis kisah-kisah bohong (fiksi), karena dalam kisah-kisah Alquran dan hadits Nabi dan yang lainnya yang menceritakan fakta dan merepresentasikan fakta, sudah cukup sebagai pelajaran dan nasihat yang baik.”

Kedua, sebagian ulama membolehkan, seperti Syeikh Ibnu Utsaimin, dengan syarat isi cerita fiksi menggambarkan hal-hal yang boleh (jaiz) menurut syara’, tidak menggambarkan hal-hal yang diharamkan, dan secara jelas menyampaikan kepada pembaca bahwa yang disampaikan adalah fiksi bukan kenyataan, agar tidak jatuh dalam kebohongan. (Lihat : Ibnu Utsaimin, Fatawa  Muwazhzhafiin, soal no. 24).

Ketiga, kandungan (content) cerita fiksi tidak boleh bertentangan dengan akidah atau syariah Islam. Dalil syarat kedua ini adalah dalil-dalil yang mewajibkan Muslim berkata benar sesuai syariah Islam. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS Al Ahzab [33] : 70). 

Juga sabda Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasalaam : “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR Bukhari dan  Muslim). Pendapat yang rajih (kuat), adalah yang membolehkan membuat cerita fiksi asalkan terikat dengan syarat-syarat syar’i agar tidak terjatuh dalam kebohongan atau keharaman. Wallahu a’lam. 

III. Kesimpulan 

Kesimpulannya, diperbolehkan menulis buku yang berisi cerita fiksi dengan dua syarat:

a. Semua orang yang membacanya menyadari bahwa cerita tersebut hanyalah fiksi.

b. Maksud dari ditulisnya cerita tersebut adalah niat yang baik semisal menanamkan akhlak-akhlak mulia.


REFERENSI

Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008

Abdurrahman bin Naashir bin Abdullah As Sa’dii, 1983, Taisiirul Kariimur Rahman, Kairo: Daarul Ibnu Jauzi

Bakar bin Abdullah Abu Zaid bin Muhammad bin Abdullah,  1996, Mu’jamu Al Manaahi Allafdziyyah, Riyyad: Daarul (Maktabah Asy Syameela)

Abu Qaasim Tamam bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far, Al Fawaaidi, (Riyyad: Maktabah Ar Rasyid 1979) 

Abi Thoyyib Muhammad Syamsul haq Al’Adhim Abadi, ‘Aunul Ma’bud, (Kairo : Daarul Hadits 2005) 

Muhammad Abdurrahman bin Abdurrohim Al Mubaarokfuurii, Tuhfatul Ahwadzi, (Kairo: Daarul Hadits 2005) 

https://www.dakwahpost.com/2018/05/bolehkah-menjadi-penulis-cerita-fiksi-dalam-islam.html

https://konsultasi.wordpress.com/2014/05/24/hukum-mengarang-cerita-fiksi/


Oleh : Yoko Setiawan (Mahasiswa Hukum Ekonomi Syari'ah STEI SEBI)

_________________

ARTIKEL ini adalah kiriman pembaca Muslim Kreatif. Kirim ARTIKEL Anda lewat email ke: muslimkreatif123@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat. Isi dari ARTIKEL di luar tanggung jawab redaksi Muslim Kreatif.

Kirim tulisan Anda yang sekiranya sesuai dengan Muslim Kreatif lewat email ke: muslimkreatif123@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word, ukuran font 12 Times New Roman. Untuk semua tulisan berbentuk opini. Isi di luar tanggung jawab redaksi.
Posting Komentar

Posting Komentar

close
-->